Akhir Sebuah Cita-Cita - Hallo pembaca WHT
Web Hosting Indonesia, kali ini saya akan sharing hosting Akhir Sebuah Cita-Cita, saya telah mereview dan membuat tutorial untuk pembaca setia, berikut artikel yang kami buat khusus untuk anda pembaca WHT.
lihat juga
Akhir Sebuah Cita-Cita
Oleh : Zahra Vee |
Zahra Vee |
Apakah kalian pernah ingat dengan apa yang pernah kalian cita-citakan dulu ketika masih kecil? Atau sebuah angan yang membawa kita--masa kecil, begitu ingin untuk diwujudkan? Jangan bilang kalian tak memiliki cita-cita di waktu kecil. Meski pada akhirnya cita-cita itu belum terwujud hingga detik ini.
Sebut saja namanya Lia. Dia anak tetanggaku. Rumah kami pun saling berhadapan. Umurnya sekitar satu tahun lebih muda dariku. Wajar bukan, jika dulu sesama kecil kita saling membicarakan cita-cita satu sama lain.
"Kamu mben kalau udah gede mau jadi apa, Vee?" Pertanyaan itu terlontar dari mulut mungilnya begitu saja. Sambil kedua tangannya lincah memainkan bola bekel di teras rumahku. Kebetulan siang itu kami sedang bermain bersama.
Aku menoleh, menatap wajah polosnya. Aku juga masih polos loh ketika itu. Bahkan bisa dibilang unyu-unyunya. Sekarang aja masih unyu. Hihihi. "Ndak tau aku, Lia. Aku susah kalau ditanya itu," jawabku sambil masih memperhatikan wajahnya. "Lah kamu sendiri mau jadi apa memangnya?"
Lia menghentikan gerakan tangannya. Mengangkat wajah, menatapku. "Aku mau jadi penyanyi," jawabnya santai, lalu melanjutkan kembali permainan bola bekelnya.
"Penyanyi? Emang kamu bisa nyanyi?"
"Bisa!" Dengan gerakan cepat, Lia menaruh bola bekel di atas lantai. Lalu berdiri, dan mulai menggeyol-geyolkan pinggangnya ke kanan dan ke kiri. Kemudian menyanyikan lagu 'Lima Menit Lagi' miliknya Ine Chyntia. Sambil tersenyum dan mengedip-ngedipkan matanya. Aku menelan ludah. "Ayo sini ikut nyanyi!" pintanya.
Sambil garuk-garuk kepala yang tak gatal, aku nyengir kuda. Hehehe. Nih anak, emang gak ada matinya. Batinku.
Waktu pun berlalu. Saat kami sama-sama memasuki bangku SMP. Lia terpaksa harus diboyong ke desa ibunya--sekitar kurang lebih satu jam perjalanan dari rumahku. Lantaran kedua orang tuanya bercerai. Dan terpaksa ia pun harus pindah sekolah juga. Kedekatan kami yang memang sudah bersahabat lama, sering melahirkan kerinduan. Apalagi hingga kami sama-sama duduk di bangku SMA-pun, kami jarang sekali bertemu.
Hingga pada sebuah waktu. Salah satu kerabat Lia ada yang meninggal. Kebetulan rumah kerabatnya tak jauh dari rumahku. Untuk yang pertama kalinya setelah beberapa tahun tak ketemu, aku kembali dipertemukan lagi dengannya. Ketika sepulang menyelawat, ia melewati jalan depan rumah. Awal bertemu aku sempat tak percaya jika itu adalah Lia, sahabat masa kecilku. Namun setelah saling menyapa, akhirnya aku yakin jika dia adalah Lia.
Aku sempat menangis melihat keadaannya. Ia berbalik 180 derajad dari keadaan di waktu masa kecilnya dulu. Lia kecil yang gendut, dua pipinya yang tak jauh berbeda dengan pipiku--si pipi bakpau. Terlihat begitu kurus, bahkan wajahnya nampak lebih tua dari umur yang sebenarnya. Penampilan yang ala kadarnya, seperti ibu-ibu kebanyakan. Rok meksi panjang lusuh, dengan pakaian kemeja lengan panjang yang sederhana, dan selendang panjang yang dililitkan di kepala membentuk sebuah kerudung menutupi kepala.
Kami berpelukan cukup lama sore itu. Seolah ingin melepas segala kerinduan yang telah menggunung di hati kami masing-masing.
"Kamu kemana aja selama ini, Li? Ndak ada kabar."
Lia mengangkat wajahnya, mencoba tersenyum. "Aku ndak kemana-mana, Vee. Kamu tak berubah ya, masih cantik seperti dulu."
Aku tersenyum. "Apa yang terjadi padamu, Li? Kamu banyak berubah."
Lia memalingkan wajahnya, memandang ke arah pohon mangga yang berdiri kokoh di salah satu sudut halaman rumah. "Pohon itu rupanya masih ada ya? Seingatku, pohon itu dulu tak sebesar sekarang. Kan kita dulu sering ya, Vee, manjat pohon itu? Sampai dimarahi bapakmu yang teriak-teriak, 'bocah wedok kok penek an yo!' kau ingat kan?" ucapnya diikuti gelak tawa yang terdengar ringkih. "Dan, dan di bawah pohon itu juga. Dulu aku sering memaksamu untuk mengikuti gerakan menariku kan?"
Aku menoleh pada pohon yang sedang dituju kedua matanya. Benar. Pohon mangga itu menyimpan berjuta kenangan kami. Makanya sempat beberapa kali bapak ingin menebangnya karena dianggap menganggu namun aku larang. Pada pohon itulah, rindu lebih sering menjemput kenanganku bersama Lia.
"Kamu sudah menikah?" tanyaku pelan.
Lia tak menoleh. Pandangannya masih tertanam pada pohon mangga yang kini sudah mulai berbunga.
Hening sejenak.
"Pulang, Nduk!" Tiba-tiba ada sebuah suara laki-laki paruh baya, yang mengagetkan keheningan kami. Aku menoleh. Siapa dia?
Dan belum sempat aku bertanya, Lia sudah bangkit dari duduknya, lalu berkata, "Dia suamiku, Vee."
Suami? Setua itu? Maksudku..., bagaimana bisa? Bukankah dia lebih pantas sebagai seorang bapak? Laki-laki paruh baya yang diakui sebagai suaminya Lia itu, sudah berjalan lebih dulu sambil menuntun sepeda motornya.
Dan lagi-lagi, sebelum sempat mulutku menanyakan perihal yang lebih pribadi lagi. Lia sudah kembali berujar, "Kamu masih ingat kan, cita-citaku dulu?"
"Penyanyi?" tanyaku tak mengerti.
Lia tersenyum. "Rupanya Tuhan memiliki rencana yang berbeda, Vee. Aku berhenti di bangku kelas dua SMA. Kamu pasti tak tahu kan?" Aku menggeleng. "Dan alasanku berhenti sekolah, karena aku telah menjadi penyanyi. Tepatnya penyanyi pentas. Cita-citaku terwujud. Namun musibah siapa yang tahu? Kamu pernah dengar tentang berita seorang gadis sombong dikerjain beberapa pemuda yang sakit hati, dengan dicekoki minuman keras dan lalu digilir secara bergantian sepulang dari mentas?" Lagi-lagi aku menggeleng.
Lia tersenyum getir. "Gadis itu adalah aku, Vee. Dan laki-laki yang baru kamu lihat tadi, adalah satu-satunya lelaki yang mau menerima keadaanku yang sudah hancur. Dia memang jauh lebih tua dariku. Namun dia bisa memberikanku sebuah surga yang selama ini bahkan aku tak tau apakah surga itu masih ada untukku. Aku pamit ya, Vee. Semoga lain waktu kita bisa bertemu lagi."
Aku menatap kepergian Lia dengan berjuta rasa tak percaya. Memang semenjak perpindahannya, hampir aku tak pernah mendengar kabar apapun tentangnya. Aku hanya ingat dengan setiap kata yang ia ucapkan jika ditanya tentang apa cita-citanya. Penyanyi.