Makalah Sistem Pohon Induk - Hallo pembaca WHT
Web Hosting Indonesia, kali ini saya akan sharing hosting Makalah Sistem Pohon Induk, saya telah mereview dan membuat tutorial untuk pembaca setia, berikut artikel yang kami buat khusus untuk anda pembaca WHT.
lihat juga
Makalah Sistem Pohon Induk
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem silvikultur merupakan rangkaian kegiatan berencana mengenai pengelolaan hutan yang meliputi penebangan, pemudaan, dan pemeliharaan tegakan hutan guna menjamin kelestarian produksi kayu ataupun hasil hutan lainnya. Dalam melaksanakan sistem silvikultur diperlukan perhatian terhadap dua aspek, antara lain Teknik penerapan sistem silvikultur itu sendiri termasuk cara penebangan, regenerasi tegakan hutan, dan pemeliharaan tegakan hutan. Kerangka umum dari bagian pengelolaan hutan, termasuk pembagian area dan daur penebangan pohon.
Sistem-sistem silvikultur dibagi atas sistem penebangan disertai dengan pemudaan alam, sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia, sistem tebang jalur, dan sistem pohon induk untuk hutan payau. Sistem tebang habis dengan penanaman disebut juga sistem Tebang Habis dengan Pemudaan Buatan THPB, mengingat penebangannya dilakukan secara tebang habis kemudian diikuti penghutanan kembali atau pemudaan secara buatan. Sistem penebangan yang disertai dengan pemudaan secara alamiah atau disebut juga sistem silvikultur dengan pemudaan alamiah, terdiri atas sistem uniform, sistem Tebang Habis dengan Pemudaan Alamiah atau THPA, dan sistem Tebang Pilih Indonesia (TPI). Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), merupakan salah satu sistem silvikultur yang dikembangkan dari sistem silvikultur TPI melalui berbagai penyempurnaan. Hal tersebut disesuaikan dengan kondisi hutan alam Indonesia. Disebut sistem TPTI dikarenakan penebangannya dilakukan dengan cara tebang pilih atau selektif terhadap pepohonan komersial, dan dilakukan pemudaan hutan dalam bentuk penanaman kembali. Sistem silvikultur tebang jalur merupakan sistem silvikultur yang penebangannya dilakukan pada jalur-jalur yang sudah dibuat secara selang-seling terhadap jalur yang tidak ditebang. Untuk proses pemudaan dapat dilakukan dengan cara buatan maupun alamiah.
Sebagian besar dari jensi pohon komersial yang dikenal di Indonesia, dipermudakan/diremajakan dengan biji-biji dan semai (seedlings). Sebagian kecil lagi dipermudakan melalui trubusan/tebasan dan tunas, misalnya sungkai, sonokeling, lamtoro, kaliandra, kayu putih, akasia, dan lain-lain. Hasil-hasil percobaan belakangan ini, menunjukkan beberapa jenis pohon dapat dikembangbiakan melalui bioteknologi, yaitu secara kultur jaringan. Meskipun demikian, masih banyak jenis-jenis pohon di hutan tropika basah, terutama yang digolongkan jenis kurang dikenal, masih belum diketahui sifat-sifat silviknya seperti reproduksi, pertumbuhan, toleransi, kualitas kayu, dan sebagainya.
Pengelolaan Sistem Pohon induk ataupun sistem silvikultur hutan payau dilakukan pada hutan payau yang terdapat dalam suatu kawasan hutan produksi. Disebut sistem pohon induk dikarenakan dalam penebangannya di suatu area hutan harus meninggalkan sejumlah pohon induk yang minimal berjumlah 40 pohon dalam satu hektar sebagai sumber benih yang diharapkan mampu melakukan regenerasi atau pemudaan secara alamiah. Pekerjaan silvikultur yang dinilai baik dari segi aspek kelestarian hutan, yakni jika pekerjaan itu tidak memusnahkan jenis-jenis biota, baik flora maupun fauna dalam ekosistem hutan sehingga penerapan sistem silvikultur secara baik akan menjamin kelestarian keanekaragaman biota alam tersebut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas, maka masalah yang dapat timbul dari makalah sistem pohon induk dan sistem pohon penaung yaitu
1. Apa yang dimaksud sistem silvikultur secara umum ?
2. Apa pengertian sistem pohon induk dan sistem pohon penaung ?
3. Bagaimanakah penerapan sistem pohon induk ?
4. Bagaimanakah penerapan sistem pohon penaung ?
C. Tujuan Penulisan
Sesuai dengan rumusan masalah, maka tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu :
1. Mengetahui sistem silvikultur secara umum;
2. Mengetahui pengertian sistem pohon induk dan sistem pohon penaung;
3. Mengetahui penerapan sistem pohon induk;
4. Mengetahui penerapan sistem pohon penaung.
D. Sistematika Penulisan
Makalah ini tersusun dengan sistematika sebagai berikut :
1. Terdiri atas halaman judul, kata pengantar, daftar isi, Bab 1 Pendahuluan, Bab II Pembahasan, Bab III Penutup dan daftar pustaka.
2. Bab I Pendahuluan terdiri atas latar belakang, rumusan masalah, tujuan, sistematika penulisan dan manfaat penulisan
3. Bab II merupakan pembahasan yang menjadi isi dari makalah ini dan membahas mengenai rumusan masalah yang terdapat pada makalah ini. Makalah ini membahas mengenai sistem pohon induk dan sistem pohon penaung.
4. Bab III Penutup terdiri atas kesimpulan dan saran dari makalah ini.
E. Manfaat Penulisan
Manfaat yang dapat diperoleh dari makalah ini yaitu :
1. Bagi Institusi
Manfaat yang dapat diperoleh bagi institusi yaitu makalah ini dapat menjadi referensi ilmu mengenai sistem pohon induk dan sistem pohon penaung.
2. Bagi Mahasiswa S1 Kehutanan
Manfaat yang dapat diperoleh bagi mahasiswa S1 kehutanan yaitu makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan mengenai sistem pohon induk dan sistem pohon penaung
3. Bagi Pembaca
Manfaat yang dapat diperoleh bagi pembaca yaitu makalah ini diharapkan dapat memperkenalkan sekaligus menambah wawasan ilmu pengetahuan mengenai sistem pohon induk dan sistem pohon penaung.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sistem Silvikultur Secara Umum Silvikultur merupakan cara-cara mempermuda hutan secara alami dan buatan, serta pemeliharaan tegakan sepanjang hidupnya. Termasuk kedalam sivikultur ialah pengetian tentang persyaratan tapak atau tempat tumbuh pohon perilakunnya terhadap berbagai intensitas cahaya matahari, kemampuannya untuk tumbuh secara murni atau campuran, dan hal-hal lain yang mempengaruhi pertumbuhan pohon. Jadi sangatlah pentig untuk mengetahui silvikultur masing-masing jenis pohon, sebelum kita dapat mengelolah suatu hutan dengn baik. Silvikultur dapat dianalogikan dengan ilmu agronomi dan holtikultura di pertanian, karena silvikultur dapat juga membicarakan cara-cara membudidayakan tumbuhan,dalam hal pohon – pohon hutan . Dalam pengertian lebih luas , silvikultur dapat disebut Ilmu pembinaan hutan, dengan ruang lingkup mulai dari pembijian , persemaian, penanaman lapangan, pemeliharaan hutan, dan cara-cara permudaannya.Untuk itu, seorang ahli sivikultur perlu mempelajari berbagai ilmu dasar yang mendukungnya, misalnya ilmu tanah, ilmu iklim, ilmu tumbuhan (botani) ,dendrologi, fisiologi,genetika, serta ekologi. Sekarang, ahli silvikultur pada hakikatnya adalah seorang pemraktek ekologi. Kita menanam dan memelihara hutan, tidaklah hanya untuk dikagumi keidahannya, tetapi yang utama untuk dapat memanfaatkan hutan secara lestari. Dengan demikian ,aspek ekonomi termasuk kedalam pengertian sivikultur sejak dini. Meskipun demikian, alam tetap merupakan guru kita yang tebaik. Karena itu kaidah-kaidah dalam hokum alam harus selalu diperhatikan. Hal ini sangat terlihat bika kita hendak membangun hutan tanaman, dan menggunakan jenis pohon asaing yang didatangkan dari luar kawasan , atau dari luar negeri.Sementara penulis, seperti Baker (1950) dan Hawley and Smith (1962), membagi ilmu silvikultur atas dua bagian, yaitu silvik dan silvikultur. Demikian pula pembagian tersebut dapat diartikan sebagai dasar teori silvik dan penerapan praktek silvikultur. Tanpa memahami dasar teori, memang sulit untuk mengembangkan penerapan sivikultur di lapangan. Silvik dapat menjawab berbagai pertanyaan berikut: mengapa suatu jenis pohon dipilih untuk ditanam di suatu tapak tertentu? Mengapa ditanam secara murni atau dicampur dengan jenis lain? Mengapa ditanam dengan cara vegetatif atau generative ? Mengapa diperlukan simbiosa dengan jamur pembentuk mikoriza ? Mengapa untuk keperluan reboisasi tanah kritis diperlukan jenis pohon pionir atau pelopor ? Dan sebagainya. Silvikultur ialah ilmu dan seni menghasilkan dan memelihara hutan dengan menggunakan pengetahuan silvik untuk memperlakukan hutan serta mengendalikan susunan dan pertumbuhannya.Sistem silvikultur adalah sistem budidaya hutan atau teknik bercocok tanam hutan yang dimulai dari pemilihan bibit, pembuatan tanaman, sampai pada pemanenan atau penebangannya (SK Menteri Kehutanan No.309/Kpts-II/1999). Sistem silvikultur merupakan serangkaian kegiatan terencana mengenai pengelolaan hutan yang meliputi penebangan, peremajaan dan pemeliharaan tegakan hutan guna menjamin kelestarian produksi kayu dan hasil hutan lainnya (Ngadiono 2004).Tiga hal penting yang menjadi fokus dalam Sistem silvikultur adalah:1. Metode regenerasi dari suatu tegakan yang membentuk hutan 2. Bentuk dari hasil yang akan diproduksi 3. Pengaturan dari pohon-pohon dari suatu tegakan hutan, dimana mengacu pada pertimbangan silvikultur dan perlindungan serta kemudahan dalam pemanenan.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.309/Kpts-II/1999 tentang Sistem Silvikultur dan Daur Tanaman Pokok dan Pengelolaan Hutan Produksi, sistem silvikultur yang dilakukan dalam kegiatan pengelolaan hutan produksi di Indonesia adalah TPTI, THPB (Sistem Silvikultur Tebang Habis dengan Permudaan Buatan), THPA dan TPTJ. Dengan adanya Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.10172/Kpts-II/2002 maka sistem silvikultur yang diterapkan di Indonesia adalah TPTI dan THPB karena THPA dan TPTJ dianggap tidak dapat diterapkan sebagaimana yang diharapkan. Namun demikian seharusnya tidak terjadi pembatasan penggunaan suatu sistem silvikultur karena harus disesuaikan dengan keadaan hutan dimana hendak diterapkan serta tujuan pengelolaannya. Hal-hal yang menjadi pertimbangan pemilihan
sistem silvikultur antara lain:
1. Tujuan pengelolaan/pengusahaan
2. Keadaan/tipe hutan
3. Sifat silvik
4. Struktur dan komposisi jenis
5. Tanah dan topografi
6. Pengetahuan professional rimbawan
7. Kemampuan pembiayaan
B. Pengertian Sistem Pohon Induk dan Sistem Pohon Penaung
Sistem pohon induk adalah suatu sistem silvikultur dengan membiarakan beberapa pohon berdiri sendiri atau dalam kelompok untuk menghasilkan benih untuk regenerasi, sistem ini disebut juga sebagai sistem bibit pohon. Sedangkan Sistem pohon penaung adalah suatu sistem silvikultur yang diterapkan di hutan-hutan temperate dimana kondisi hutannya relatif seragam, baik dari segi umur dan jenis pohon yang ada di dalamnya.
C. Penerapan Sistem Pohon Induk
Dalam metode ini, berdiri adalah jelas ditebang kecuali pohon benih beberapa, yang dibiarkan berdiri sendiri atau dalam kelompok untuk menghasilkan benih untuk regenerasi. Setelah tanaman baru didirikan, pohon-pohon benih dihapus atau kiri tanpa batas. Perbedaan utama dari sistem penampungan kayu adalah bahwa pohon benih dipertahankan hanya untuk produksi benih dan tidak cukup untuk memberikan perlindungan. Benih Pohon harus memiliki angin kuat, benih kemampuan memproduksi dengan mahkota dominan dan usia memproduksi benih berlimpah.
Jumlah dan distribusi pohon benih tergantung pada faktor-faktor berikut:
1. Jumlah benih yang diproduksi / pohon
2. benih yang dibutuhkan
3. Penyebaran benih
4. Jumlah benih yang layak diproduksi
5. Perkecambahan biji
6. Pembentukan Bibit
Keuntungan: kesempatan cukup untuk seleksi fenotipik, cocok untuk spesies menuntut cahaya.
Kekurangan: Di bawah stocking, stocking atas, kerusakan oleh hutan dan kekeringan.
Jenis Benih Pohon Sistem yaitu :
1. Sistem bibit pohon seragam:Dalam sistem bibit pohon seragam, setiap pohon lebih atau kurang terdistribusi merata di seluruh blok.
2. Kelompok sistem bibit pohon:Dalam sistem bibit pohon kelompok, pohon benih yang tersisa di blok di patch kecil. Patch ini dapat diatur dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur atau strip
Pada tahun 1978, Direktorat Jenderal Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan No. 60/Kpts/DI/1978 tentang Pedoman Sistem Siivikultur Hutan Mangrove. Berdasarkan sistem siivikultur ini, hutan mangrove harus dikelola dengan Sistem Pohon Induk (Seed – Tree Method). Secara garis besar, sistem tersebut adalah sebagai berikut;
1. Rotasi tebang adalah 30 tahun, dimana rencana kerja tahunan (RKT) dibagi ke dalam 100 ha blok tebangan dan setiap blok tebangan dibagi lagi kedalam 10 sampai 50 ha petak tebang. Rotasi tebangan dapat dimodifikasi oleh pemegang konsesi yang didasarkan pada kondisi habitat, keadaan ekologi dan tujuan pengelolaan hutan setelah mendapat persetujuan dari Direktorat Jenderal Kehutanan.
2. Sebelum penebangan, pohon-pohon dalam blok tersebut harus diinventarisasi dengan menggunakan systematic strip sampling dengan sebuah jalur selebar 10 m dan jarak diantara rintisan jalur lebih kurang 200 m. Inventarisasi harus dilakukan oleh pihak pemegang konsesi. Berdasarkan hasil inventarisasi tersebut, Direktorat Jenderal Kehutanan akan menetapkan apakah hutan tersebut layak untuk ditebang atau tidak. Bila hutan tersebut layak ditebang, maka Direktorat Jenderal Kehutanan akan menentukan Annual Allowable Cut (AAC).
3. Pohon-pohon yang ditebang harus mempunyai diameter sekurang-kurangnya 10 cm pada ketinggian 20 cm di atas akar penunjang atau setinggi dada. Hanya kampak, parang, dan gergaji mekanik digunakan untuk menebang pohon
4. Penebangan dilakukan dengan meninggalkan 40 batang pohon induk tiap ha, atau dengan jarak antara pohon rata-rata 17m. Diamater pohon induk adalah > 20 cm yang diukur pada ketinggian 20 cm di atas pangkal banir bagi jenis Bruguiera spp dan Ceriops spp. atau di atas pangkal akar tunjang yang teratas bagi Rhizophora spp. Pada umur 15-20 tahun, setelah penebangan dilakukan penjarangan sampai hutan tersebut berumur 30 tahun.
5. Pengeluaran kayu dari dalam hutan dilakukan dengan perahu melalui sungai, alur air atau parit. Pengeluaran kayu ini dapat juga dilakukan dengan lori melalui jalan rel. Parit dibuat selebar 1,5 m dengan jarak satu sama lain kurang dari 200 m.
6. Luas tcmpat penimbunan kayu termasuk tempat pembakaran arang dibatasi 0,1 ha tiap 10 ha areal penebangan.
7. Wilayah yang permudaannya rusak seperti bekas tempat penebangan pohon, kiri-kanan parit, bekas jalan rel, dan bekas tempat penimbunan kayu harus ditanami jenis pohon anggota Rhizophoraceae.
8. Membuat jalur hijau (green belt} selebar kira-kira 50 m disepanjang tepi pantai, dan 10 m di sepanjang tepi sungai, saluran air dan jalan-jalan utama.
Sehubungan dengan jalur hijau mangrove, pada tahun 1990 Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan, Departemen Kehutanan mengeluarkan Surat Edaran No. 507/IV-BPHH/1990 mengenai penentuan lebar jalur hijau mangrove selebar 200 m di sepanjang garis pantai dan 50 m di sepanjang pinggir sungai. Saat ini, berdasarkan hasil studi ekologi di Sungai Saleh, Sumatera Selatan, Soerianegara et al. (1986) menyarankan lebar jalur hijau mangrove = 130 x perbedaan rata-rata tahunan antara pasang tertinggi dengan surut terendah. Hasil penelitian ini tertuang dalam PP No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.
Ada tiga hal yang mesti diperhatikan dalam sistem pohon induk yaitu :
1. Ekologis
Penerapan sistem silvikultur dengan sistem pohon induk (seed trees method) merupakan didasari dengan pertimbangan ekologis yang memanfaatkan sumber benih lokal untuk peremajaan hutan. Benih dari pohon induk yang terpilih dan sehat dapat dikatakan unggul, karena telah terbukti mampu bersaing dan mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan/ekologis setempat pada hutan payau tersebut. Dengan adanya pohon induk ini sebagai sumber benih peremajaan hutan diharapkan agar komposisi jenis pada hutan payau tidak mengalami perubahan secara drastis sehingga kondisi ekologis dan fungsi hutan payau dapat berjalan.
2. Ekonomis
Pemilihan sumber benih dengan memanfaatkan pohon induk akan berpengaruh secara ekonomis,karena dapat menekan biaya pada kegiatan pengadaan bibit (persemaian, pemeliharaan bibit, pengangkutan bibit, dll). Pemilihan pohon induk dengan tepat dapat memaksimalkan jumlah panenan (pohon yang ditebang)
3. Teknis
Aspek teknis pada sistem hutan payau dilakukan dengan mempertimbangkan jumlah panenan/tebangan dengan aspek ekologi dan pemilihan pohon induk yang baik dan sehat serta memperhitungkan luas dan jarak antara pohon induk. Pelaksanaan secara teknis harus dapat mengakomodir jumlah panenan dalam jumlah sebanyak mungkin namun harus meminimalisir kemungkinan kerusakan pada pohon induk yang ditinggalkan. Pelaksanaan sistem silvikultur pada hutan payau dengan sistem pohon induk ini meliputi kegiatan penebangan dan kegiatan pemeliharaan pohon induk dan tegakan sisa hingga daur selanjutnya sebagai suatu kesatuan kegiatan. Dengan demikian harus ada sikronisasi antara kegiatan penebangan dan kegiatan pemeliharaan.
Tindakan yang dilakukan dalam Metode Pohon Induk
Ø Menyisakan pohon tua, sekurang-kurangnya sampai permudaan tersebar merata
Ø Pemanenan pohon tua ditujukan untuk mengatur ruang peremajaan
Ø Beda dengan selection method : hasil tegakan seumur
Ø Semua pohon tua ditebang kecuali sedikit pohon induk → soliter, group
Ø Beda dengan shelterwood methods ; biji disediakan di petak, tidak ada batasan jalur tebang agar biji sampai
Ø Tidak ada tegas di jumlah pohon induk antara STM dan SWM
Ø Bila tapak buruk, oleh tanah, ingin bantu tebar biji atau tambah pohon induk menjadi SWM.
Pemetaan Pohon Induk :
Ø Pohon induk soliter sebelah pohon lain dipanen → permudaaan merata
Ø Pohon induk group : memudahkan penyelamatan pohon induk dan mudah memanennya kemudian →permudaan tidak merata
Ø Kalau biji mengelompok, ternaung, tidak hidup, jarangi lagi
Ø Tidak ada bukti pohon induk di group lebih tahan angin
Kriteria Pohon Induk
Ø Tegap, tajuk lebar, % tajuk besar, tahan badai, banyak buah
Ø Tidak cocok untuk jenis pohon perakaran dangkal
Ø Umur pohon induk cukup tua
Jumlah dan Sebaran Pohon Induk
Ø Bila jenis pohon berumah dua : sisakan pohon jantan + pohon betina
Ø Bunga betina (konifer) sering diatas, pohon soliter sering kurang produktif karena kurang turbulasi angin
Ø Jumlah pohon tergantung pengalaman berapa produksi biji per pohon di masa lalu
Musim Berbuah Raya
Ø Kerapatan permudaan tergantung musim buah raya
Ø Sebagian besar biji dimakan predator ; pengerat, burung, serangga, jamur → sebab kecil saja yang menjadi semai
Ø Gunakan produksi biji sedang sebagai dasar penentuan jumlah penduduk
Pengembangan Sistem Silvikultur Pohon Induk
Ada empat hal yang seyogyanya dikembangkan di dalam penerapan sistem pohon induk di hutan mangrove, yaitu :
1. Pohon induk sebaiknya tidak ditinggalkan secara soliter, tetapi pohon induk tersebut harus ditinggalkan tersebar merata dalam bentuk koloni yang terdiri atas 3 atau lebih individu pohon, karena kekuatan berdirinya pohon mangrove sangat bergantung pada kekuatan saling ikat-mengikatnya sistem perakaran yang kedalamannya jarang lebih dari 1,5 meter.
2. Sistem tebang habis tidak boleh dilakukan walaupun ketersediaan semai sebanyak 2500 bt/ha atau lebih. Hasil penelitian De Laune ef al. (1993) di hutan mangrove di Australia menunjukkan bahwa sistem tebang habis di hutan mangrove menyebabkan penurunan potensial redoks tanah dan peningkatan konsentrasi sulfida pada endapan, sehingga kondisi ini menjadi racun bagi tumbuhan (penurunan produktivitas hutan pada rotasi tebang berikutnya).
3. Untuk tujuan yang bersifat konservatif, lebar jalur hijau mangrove nampaknya perlu dikaji lagi. Walaupun lebar jalur hijau tersebut sudah direkomendasi selebar 130 kali perbedaan rata-rata tahunan antara pasang tertinggi dengan surut terendah, namun pelaksanaannya secara luas di Indonesia perlu disesuaikan dengan iokasi setempat.
4. Penjarangan seyogyanya dilakukan pada umur 10 sampai 15 tahun setelah penebangan, dimana ketersediaan pancang umumnya cukup tinggi. Menurut Kusmana ef al. (1991), laju kematian akibat persaingan antar individu pohon di hutan mangrove cukup tinggi pada permudaan tingkat pancang.
D. Penerapan Sistem Pohon Penaung
Pada sistem ini, tegakan yang baru dibangun di bawah atau di salah satu sisi naungan dari pohon tua dimana pada saat yang sama naungan tersebut akan melindungi pula tempat tumbuhnya. Syarat dari sistem shelterwoodadalah di dalamnya terdapat sistem penebangan regenerasi yang berturut-turut bersamaan dengan sistem seleksi. Dimana pada sistem ini, hutan ditebang ke dalam jalur-jalur tebang yang berseling dengan demikian diharapkan biji yang diproduksi oleh pohon-pohon yang ada di jalur-jalur yang belum ditebang akan jatuh di jalur-jalur yang ditebang. Biji-biji ini akan berkecambah dan selanjutnya akan membentuk hutan baru di jalur tersebut.
Pada prinsipnya sistem ini memanfaatkan kemampuan permudaan alami dari jenis-jenis pohon yang tumbuh di hutan untuk permudaan hutan yang ditebang. Dimana pada sistem ini akan diperoleh tegakan muda/permudaan di bawah naungan dan perlindungan pohon tua. Keuntungan dari permudaan alami adalah sebagai berikut :
Tegakan muda berada di bawah perlindungan tegakan tua dan hal ini kurang lebih terjadi dalam proses hutanalam
Kondisi iklim mikro dan tanah sesuai dengan yang dibutuhkan semai setidaknya selama awal dari perkembangan tegakan
Lapisan humus yang menutupi horizon teratas dari tanah menyediakan media yang baik untuk perlindungan benih dari sinar matahari dan cocok untuk daya hidup awal semai
Seed barers digunakan sebagai induk dari proses suksesi yang terjadi pada tanah yang beradaptasi dengan baik dalam tegakan. Hal ini merupakan keuntungan yang sering dan biasa terjadi pada suatu tegakan tapi bukan merupakan alternatif yang baik. Populasi yang dapat beradaptasi dengan baik tidak selalu paling produktif atau paling bernilai dalam segi karakter silvikultur atau kualitas kayu
Jenis campuran dapat lebih siap untuk diperoleh dan lebih sesuai untuk tegakan lokal yang bervariasi,
Meningkatkan struktur yang lebih komplek dimana secara umum lebih mudah. Hal ini penting ketika tegakan tidak beraturan diinginkan
Gangguan dalam produksi yang berhubungan dengan tebang habis tidak terjadi.
Adapun kerugian permudaan alami terutama dari segi manajemen ekonomi yaitu sebagai berikut :
Kegiatannya sulit dilakukan dan mahal dari segi keahlian, tenaga, waktu, dan uang. Proses permudaan alami kurang mampu mengurangi resiko kegagalan, defisiensi stock, dan waktu yang diperlukan
Ada beberapa persyaratan untuk menjamin keberhasilan permudaan alami, yaitu :
1. Suplai benih viable yang memadai
2. Benih reseptif terhadap keadaan yang buruk dengan suplai air dan nutrisi
3. Iklim mikro yang cocok untuk berkecambah, daya hidup, dan daya kecambah yang tinggi dari tanaman muda
4. Ketahanan tahanan terhadap serangan hama, penyakit, gulma, dan iklim yang ekstrim
Persyaratan permudaan alami tersebut lebih ke arah pembibitan dimana pada sistem shelterwood terjadi regenerasi untuk persediaan benih dan mengubah iklim mikro pada lantai hutan. Pada sistem regenerasi ini terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi inisiasi tunas bunga dan bisa mengurangi
kegagalan yang terjadi antara pembungaan dan pematangan buah dan benih, yaitu sebagai berikut:
1. Iklim. Pada daerah temperate, iklim mempengaruhi periode pembungaan dan produksi benih.
2. Ruang tumbuh. Ruang tumbuh ini harus mendukung pertumbuhan vegetatif.
3. Kualitas benih dan kecukupan benih
4. Intensitas cahaya matahari. Intensitas matahari harus cukup untuk menyinri mahkota pembawa benih
5. Unsur hara. Unsur hara yang diaplikasikan dengan dosis yang tepat dan waktu yang tepat sesuai dengan jenis tanaman yang berperan untuk meningkatkan pertumbuhan, meningkatkan pembungaan dan produksi buah-buahan.
Pada prinsipnya dalam sistem shelterwood, tahapan penebangan dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu :
1. Preparatory cutting (Tebangan persiapan), dilakukan untuk memperbaiki kondisi tempat tumbuh yang tidak cocok untuk perkecambahan biji.
2. Seed or seeding cutting (Tebangan biji/pemeliharaan), dihilangkan untuk menghangatkan tanah dan merangsang perkecambahan, serta pertumbuhan permudaan
3. Removal or final cutting (Tebangan pembersihan atau akhir/pemungutan), dilakukan untuk memberikan cukup regenerasi dan telah tumbuh sampai cukup tinggi dan siap untuk ditebang
Sistem shelterwood dikelompokkan ke dalam 6 (enam) sistem, yaitu : 1) Uniform system. Pada sistem ini, pembukaan lapisan tajuk merata, tegakan muda kurang lebih seumur dan seragam, 2) Group system. Pembukaan lapisan tajuk dengan celah-celah yang tersebar, tegakan muda kurang lebih seumur, 3) Irregular shelterwood system. Pembukaan lapisan tajuk tidak teratur dan tegakan muda tidak seumur, 4) Strip system (sistem jalur). Penebangan dilakukan secara jalur. Penebangan untuk permudaan pada suatu waktu dibatasi ke dalam bagian-bagian tertentu, kompartemen atau sub kompartemen, 5) Wedge system (Sistem baji). Penebangan dimulai pada garis dalam dan maju kea rah luar dalam formasi baji, 6) Tropical shelterwood sistem.
Metode pohon pelindung :
1. membentuk tegakan seumur sebelum tegakan tua dihabiskan
2. Pemanenan tegakan tua secara bertahap (a series of partial cuttings)
3. Mirip penjarangan sangat keras berulang
4. Tegakan tua dihabiskan bila seluruh bagian lahan tertutup permudaan alami
5. Variasi perlakuan sangat besar tergantung target komposisi jenis yang diinginkan
6. Menyisakan pohon baik, dahulukan tebang pohon kurang baik ditengah anak petak
7. Kadang harus menyisakan sebagian pohon induk selama daur berikutnya untuk satwa pelindungnya dan keindahan
Prinsip Dasar :
1. Ruang dikosongkan agar biji dapat berkecambah dan tumbuh menjadi semai, pohon tua diharapkan melindungi semai dari hama dan frost
2. Pohon tua harus dihabiskan bilamana tidak lagi melindungi melainkan mehalangi pertumbuhan tegakan muda oleh naungannya
3. Penebangan pohon tua dilakukan sekurang-kurangnya 2 kali
4. Pohon tua terbaik ditinggalkan untuk membuat keturunan, tumbuh lebih cepat pula
Preparatory Cuttings
5. Untuk menguatkan calon pohon tunggal dan mempercepat dekomposisi serasah (lebih banyak panas dan hujan)
6. Bilamana banyak permudaan setelah penjarangan langsung panen utama
Removal Cuttings :
7. Panen utama bisa lebih dari satu kali untuk memberikan sebagian besar ruang kepada peremajaan dan Pohon induk
8. Panen utama ada dua : estabilishment dan untuk ria. Agar semai cepat meninggi, kurangi lagi pohon pancang
9. Kecepatan pemanenan tergantung kebutuhan cahaya permudaan jenis utama
10. Panen utama menimbulkan luka. Panen dengan kerusakan minimal bila semai masih fleksibel
11. Panen utama rebahkan kearah semai padat dan hindari semai jarang
Empat macam variasi :
1. Uniform Method : seragam diwilayah tegakan
2. Strip shelterwood method : dilakukan di jalur
3. Group shelterwood method : dilakukan di kelompok
4. Irregular shelterwood method : dilakukan jangka panjang
Keuntungan :
a. Dapat melindungi jenis-jenis yang sensitive thd cahaya, kekeringan dan angin dingin
b. Tanah lebih terlindungi
c. Lebih tahan dari hama dan penyakit
d. Bahaya erosi lebih kecil
e. Kesempatan memberikan ruang tumbuh pada pohon-pohon terbaik lebih besar pada waktu membuka canopi dan melakukan regenerasi
f. Dari segi keindahan lebih baik
Kerugian :
- Memerlukan keahlian dan waktu yang cukup
- Secara ekonomis kurang efisien karena tidak dapat bekerja secara terkonsentrasi
- Kerusakan pada pohon-pohon yang baik dapat terjadi pada waktu melakukan penebangan.
- Pada beberapa kasus, tanaman muda lebih banyak memerlukan waktu untuk establish dari pada dengan sistem tebang habis
- Pengawasan regenerasi dan penebangan lebih sulit.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan makalah yang kami buat, maka kami dapat menyimpulkan bahwa :
Sistem silvikultur adalah sistem budidaya hutan atau teknik bercocok tanam hutan yang dimulai dari pemilihan bibit, pembuatan tanaman, sampai pada pemanenan atau penebangannya (SK Menteri Kehutanan No.309/Kpts-II/1999).
Sistem pohon induk adalah suatu sistem silvikultur dengan membiarakan beberapa pohon berdiri sendiri atau dalam kelompok untuk menghasilkan benih untuk regenerasi, sistem ini disebut juga sebagai sistem bibit pohon. Sedangkan Sistem pohon penaung adalah suatu sistem silvikultur yang diterapkan di hutan-hutan temperate dimana kondisi hutannya relatif seragam, baik dari segi umur dan jenis pohon yang ada di dalamnya.
Ada tiga hal yang mesti diperhatikan dalam sistem pohon induk yaitu Ekologis, Ekonomis dan Teknis.
Ada empat hal yang seyogyanya dikembangkan di dalam penerapan sistem pohon induk di hutan mangrove, yaitu :
a. Pohon induk sebaiknya tidak ditinggalkan secara soliter, tetapi pohon induk tersebut harus ditinggalkan tersebar merata dalam bentuk koloni yang terdiri atas 3 atau lebih individu pohon, karena kekuatan berdirinya pohon mangrove sangat bergantung pada kekuatan saling ikat-mengikatnya sistem perakaran yang kedalamannya jarang lebih dari 1,5 meter.
b. Sistem tebang habis tidak boleh dilakukan walaupun ketersediaan semai sebanyak 2 500 bt/ha atau lebih.
c. Untuk tujuan yang bersifat konservatif, lebar jalur hijau mangrove nampaknya perlu dikaji lagi.
d. Penjarangan seyogyanya dilakukan pada umur 10 sampai 15 tahun setelah penebangan, dimana ketersediaan pancang umumnya cukup tinggi.
Pada sistem pohon penaung, tegakan yang baru dibangun di bawah atau di salah satu sisi naungan dari pohon tua dimana pada saat yang sama naungan tersebut akan melindungi pula tempat tumbuhnya. Syarat dari sistem shelterwood adalah di dalamnya terdapat sistem penebangan regenerasi yang berturut-turut bersamaan dengan sistem seleksi.
B. Saran
Saran yang dapat kami berikan sesuai dengan makalah yang kami buat yaitu :
1. Dalam melakukan penerapan sistem pohon induk dan sistem pohon penaung dalam suatu manajemen kehutanan harus melalui analisis terlebih dahulu, supaya sistem yang ditetapkan atau dipakai dapat memberikan keuntungan baik dari segi ekonomi maupun ekologinya.
2. Makalah ini sangat memberikan tambahanpengetahuan mengenai sistem pohon induk dan sistem pohon penaung dalam bidang kehutanan, maka dari itu kami harapkan makalah ini dapat dijadikan sebuah referensi ilmu yang berhubungan dengan penerapan sistem silvikultur.
DAFTAR PUSTAKA
Cecep. 2010. Sejarah dan Evaluasi Sistem Silvikultur. Dalam http://cecep_kusmana. staff.ipb.ac.id/2010/06/15/sejarah-dan-evaluasi-sistem-silvikultur-hutan-mangrove-di-indonesia/, diakses pada hari, Minggu 27 Oktober 2013.
David. 2010. Sistem Silvikukltur. Dalam http://david-pas.blogspot.com /2010/02/sulvikultur. html, diakses pada hari, Minggu 27 Oktober 2013.
Ghina. 2011. Sistem Silvikultur. Dalam http://ghinaghufrona.blogspot.com/2011/08/sistem-silvikultur.html, diakses pada hari, Minggu 27 Oktober 2013.
Joxzyn. 2008. Sistem Silvikultur. Dalam http://joxzyn.blogspot.com/2008/12/created-by-tri7okoyahoo.html, diakses pada hari, Minggu 27 Oktober 2013.
Wilarso. 2008. Sistem Silvikultur. Dalam http://wilarso.wordpress.com/2008/08/17/sistem-silvikultur-by-dr-sri-wilarso/, diakses pada hari, Minggu 27 Oktober 2013.